Kisah Susuhunan Amangkurat dan Ratu Malang

Kisah Susuhunan Amangkurat dan Ratu Malang 
Kisah Susuhunan Amangkurat dan Ratu Malang 

Ada hal menarik ketika kami membandingkan mengenai sebuah kisah salah satu Raja Mataram yaitu Susuhunan Amangkurat Senapati Ingalaga atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Tegal Wangi atau Sunan Amangkurat Agung (1645-1677).  Kisah Raja Mataram yang mempersunting putri Dalang Wayang Gedog disajikan dengan penuh nuansa dramatis dan sadis dalam sumber-sumber lokal sedangkan kisah tersebut begitu datar dan biasa saja jika berpacu pada laporan Jagapati kepada Admiral Speelman.  Berikut kami sajikan kisah tersebut bersumber dari catatan Jawa dan Kolonial :

Naskah Babad Tanah Jawi (Olthof,  2017: 312-314) :

Sang Nata Mataram memerintahkan untuk mencari perempuan cantik untuk dijadikan selir. Ada laporan bahwa salah satu putri dari dalang wayang gedog bernama Ki Wayah memiliki paras yang cantik, tetapi sudah menikah dengan lelaki yang sering disebut dengan nama Ki Dalem. Sang Prabu memerintahkan untuk membawanya,  namun perempuan tersebut rupanya telah mengandung dua bulan. Sang Nata begitu gembira ketika melihatnya dan ditempatkan di Kraton. Kanjeng Sunan sampai melupakan permaisurinya perempuan anak Dalang Wayang tadi malah diangkat menjadi Ratu Wetan (orang sering menyebutnya juga sebagai Ratu Malang).  Lalu lahirlah bayi laki-laki dari Ratu Malang ini sang Sunan begitu menyayangi anak tersebut, namun memerintahkan agar ayahnya (Ki Dalem) dibunuh. Ratu Malang sangat sedih dan terus menangis sampai sakit dan akhirnya meninggal dunia. Sang sunan memerintahkan semua perempuan dari Kraton dikeluarkan ke halaman Kaputren (Sunan berpikir penyebab kematian Ratu Malang diguna-guna orang dekat). Jenazah Ratu Malang dibawa ke Gunung Kelir,  tetapi sang Sunan melarang dikubur karena Sunan Sangat Kasmaran,  siang malam selalu menunggui Jenazah dengan membawa bayi Ratu Malang tadi. Mataram menjadi geger. Namun ketika Sunan tertidur dan bermimpi bahwa Ratu Malang tadi telah bertemu kembali dengan Suaminya (Ki Dalem), setelah bangun Sunan pulang dan memerintahkan untuk mengubur jenazah Ratu Malang. 

Lalu bagaimana sebenarnya peristiwa tersebut jika mengandalkan informasi catatan sezaman dari data VOC?  

Cornelius Speelman menanyakan mengenai Soal wanita itu dengan dilengkapi pertanyaan mengenai Kondisi putra kelima yaitu Pangeran Natabrata  kepada Jagapati yang memberikan jawaban :

Kiai Waya dari keluarga terkemuka Pajang mempunyai seorang putri yang ketika itu kawin dengan Kiai Dain (dalem?),  dan dari perkawinan itu (ia).. Mendapatkan seorang putra, Natabrata; kemudian Kiai Dain meninggal dan istrinya menjadi Janda,  yang oleh Sunan diambil dan dikawini... dinamakan Ratu Wetan,  tetapi dari wanita itu tidak mempunyai anak,  dan meninggal tanpa meninggalkan anak. 

Graaf  (1987: 18-24) melakukan analisis atas Informasi-infomasi ini,  menurutnya nama Waya dan Dain sama dengan tokoh Ki Wayah dan Kiai Dalem dalam kisah lokal di atas,  namun ada hal menarik dari Catatan Speelman (dari Jagapati)  ini bahwa Kiai Wayah Dalang Wayang Gedog itu adalah seorang keturunan keluarga terkemuka di Pajang. Juga ternyata Kiai Dalem Suami Ratu Wetan/Malang tidak meninggal dibunuh oleh Sunan melainkan mati wajar, setelah menjadi janda barulah sang Sunan mengawini ratu malang tadi.  Graaf beranggapan adanya kisah dramatis dan tragis tentang sang Sunan tadi salah satunya dikarenakan kebijakan keras dan bisa dikatakan jahat sang sunan telah banyak sejak awal masa pemerintahannya, sehingga kisah tutur lebih didengar daripada laporan pejabat istana Jagapati yang lebih dapat dipercaya. 

Peristiwa tragis versi babad Tanah Jawi (Olthof,  1987) tadi dicatat terjadi pada tahun 1578 J (mulai 31 Oktober 1655 M),  tahun ini dirasa kurang tepat jika dibandingkan Babad Sengkala mencatat peristiwa tadi terjadi pada tahun 1570 J (mulai 26 Januari 1648 M),  karena terdapat informasi terjadinya perkawinan Putri Kranon "paningkahnya Putri Kranon Kagarwa". Babad Momana menyatakan peristiwa tersebut pada tahun 1571 J (mulai 15 Januari 1649), dan menambahkan penjelasan "Inggih Ratu Mas Malat". Kata terakhir ini,  berarti menghukum,  mungkin mengandung arti malang.  Babad Sengkala malahan menulis bulannya yaitu Sasi Sapar,  yang mulai pada tanggal 13 Agustus 1665, dan menamakan permaisuri itu "ratu estri". Babad Momana menulis "Ratu Malat,  sinare ing redi kelir; ingriku para abdi estri kang kacelak sami dipun telasi,  artinya ratu malat dimakamkan di Gunung Kelir; kemudian semua abdi wanita terdekat dengannya dibunuh. Disini kita memang menghadapi drama Ratu Malang. 

Dari keterangan Babad-babad tadi bisa disimpulkan perkawinan antara Sunan dan Ratu Malang berlangsung selama 17 tahun, diperkirakan anak tiri sunan lahir pada tahun 1649. Karena ada upaya pembunuhan yang mungkin gagal,  dilakukan oleh Ngabei  Martanata kepada Sang Putra tersebut selain itu sasaran upaya pembunuhan jika dituju kepada Tumenggung Mataram Kiai Wirajaya (Tokoh ini akhirnya dihukum Mati oleh Sunan).  Adanya indikasi bahwa Pihak yang membela kepentingan Ratu Malang hendak mengubah garis pewarisan tahta. Jika pihak ini berhasil maka dinasti Mataram tidak dapat naik tahta dan harus menyingkir digantikan keturunan Dalang Wayang Gedog yang mungkin masih merupakan keturunan dinasti Pajang. 

Hal ini dikuatkan dengan seringnya Sunan menanyakan siapa yg berhak diantara putra-putranya untuk menggantikan jika ia meninggal, juga adanya dua kali upaya meracuni Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota)  Oleh Sunan Amangkurat (Daghregister,  26 Oktober 1663). 

Foto : Area Makam Kiai Dalem dan Ratu Malang

0 Response to "Kisah Susuhunan Amangkurat dan Ratu Malang "

Posting Komentar