Pengaruh Yunnan-Champa

Pengaruh Yunnan-Champa

Pengaruh Yunnan di Nusantara diperkirakan merentang sepanjang seribu tahun sebelum Masehi, yang rentangnya mengandaikan adanya hubungan laut yang tetap. Sepanjang kurun itu, terdapat teknik-teknik perunggu-Besi. Temuan arkeologi di Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Bali, Sumbawa, dan kepulauan Indonesia Timur berupa kendang perunggu atau Nekara, mirip dengan kendang-kendang perunggu di Indocina dan Cina Selatan. Sekalipun kegunaan kendang-kendang perunggu itu belum diketahui, tapi menunjuk pada motif dan teknik-teknik pembuatannya terlihat sama dengan hasil galian situs shizai shan di Yunnan.

Selain itu, juga ditemukan genderang perunggu ukuran besar di Sumatera Selatan yang tergolong budaya Dongson. Genderang ini diperkirakan dibuat di Dongson, Propinsi Thanh Hoa, Teluk Tonkin, sebelah utara Vietnam pada sekitar tahun 600-300 SM. Tinggi genderang ini mirip dengan genderang perunggu Tiongkok dari Dinasti Han. Menurut para ahli, genderang ini dikembangkan di Yunnan, Tiongkok Barat Daya. Genderang Dongson, selain untuk musik juga digunakan sebagai pemujaan. Selain itu, genderang dongson diperdagangkan dan dijadikan benda pusaka.

Wilayah Yunnan yang membentang di Cina Selatan, dihuni berbagai bangsa seperti Vietnam, Siam, Khmer, Mon, dan Champa. Bangsa Champa tinggal dikawasan pesisir Vietnam mulai dari daerah Bien Hoe di utara Saigon sampai ke Porte d'Annam di Selatan Hanoi serta sebagian lagi tersebar di Kampuchea. Sebagian sejarawan memang mengatakan bahwa pengaruh Islam di Champa tidak begitu besar sebelum tahun keruntuhannya pada tahun 1471 M akibat serangan Le Nanh-ton dari Vietnam. Tetapi, persinggungan antara orang-orang Islam dengan orang-orang Champa terbukti sudah terjadi pada abad ke-10 Masehi. Raja champa, Indravarman III pernah mengirimkan seorang duta beragama Islam yang bernama Abu Hasan menghadap Kaisar Cina tahun 951 dan 958 Masehi. Prasasti-prasati berbahasa Arab yang ditemukan di wilayah Champa pada tahun 1902-1907 M setelah diteliti menunjukkan bahwa pada pertengahan abad ke-10 M, orang-orang Islam di Champa sudah memiliki otonomi dan pemukiman sendiri. Berdasar inskripsi makam kuno di Phan-rang (Pandurangga) yang ditulis dengan gaya kufi, diketahui bahwa pada tahun 1039 M (lebih tua dari makam Fatimah Binti Maimun di Leran, Gresik) telah dimakamkan seorang muslim bernama Ahmad bin Abu Ibrahim bin Abu Arradah yang memakai nama samran Abu Kamil. 

Pada saat Kubalai Khan berkuasa tahun 1275 M, ia memberi semacam kebebasan dan kepercayaan kepda orang-orang Islam dari Turkestan di Asia Tengah untuk keluar masuk negeri Cina. Orang-orang Turk Islam asal Balkh, Bukhara, Samarkand yang dipercaya itu selain mendapat kedudukan yang cukup baik juga ada yang menduduki jabatan menteri di istana Kaisar. Orang-orang asal Turkestan inilah yang mengembangkan dakwah Islam di berbagai tempat di wilayah kekuasaan Khubalai Khan, termasuk di Champa yang ditaklukan panglima Muslim bernama Hasanuddin, kepercayaan Khubalai Khan.

Hubungan yang sudah terjalin lama antara kerajaan-kerajaan di Champa dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, yang salah satunya terbukti dengan perkawinan Raja jayasingawarman III dengan Ratu Tapasi, saudari sri Kertanagara dari Singasari, berlanjut sampai masa Majapahit dengan pernikahan Sri Kertawijaya dengan Puteri Champa bernama Darawati yang beragama Islam. Bahkan, sejak penaklukan ibukota Champa di Vijaya oleh Raja Vietnam bernama Le Nanh-Ton dan Tanh-ton pada 1446 M, sebagian penduduk Champa mengungsi ke Nusantara. Ketika penduduk Champa melakukan perlawanan dengan membebaskan ibukota Vijaya, Le Nanh-ton mengulangi penyerbuan yang lebih besar pada tahun 1471 M dan berhasil merebut ibukota Vijaya. Tidak kurang dari 60.000 orang Champa disembelih dan 30.000 orang lainnya ditawan dan dijadikan budak. Bahkan Raja Champa beserta lima puluh orang anggota keluarganya pun ikut tertawan. Kiranya, pada rentang waktu antara 1446-1471 M itulah para penduduk Champa beragama Islam berbondong-bondong mengungsi Ke Nusantara. 

Kedatangan penduduk champa beragama Islam ke Nusantara pada pertengahan abad ke-15, setelah jatuhnya Champa akibat serbuan Vietnam dicatat dalam berbagai historiografi; misalnya, dalam sulalatus Salatin (sejarah melayu), Babad Tanah Jawi, Babad Ngampeldenta, Purwaka Caruban Nagari, dan serat Kandha. Kehadiran orang-orang champa muslim ke Nusantara, selalu dihubungkan dengan proses dakwah Islam yang menurut catatan sejarah yang dipercaya penduduk, terkait dengan tokoh-tokoh Wali Keramat asal champa seperti syekh Kuro di Karawang, Sunan Ampel di Surabaya, Syekh Ibrahim as-Samarqandy di Tuban beserta keturunan mereka yang masyhur dikenal dengan sebutan Wali Songo.

Menurut H.J. de Graaf pada abad ke-15 dan ke-16 M, para pedagang dari wilayah Cina selatan dan pesisir Vietnam sekarang (Champa) semakin aktif di Jawa dan tempat-tempat lain di Nusantara. Hal itu bisa bermakna, penyebaran agama Islam di Jawa sedikitnya membawa pengaruh adat kebiasaan dan tradisi keagamaan masyarakat Champa kepada masyarakat di Jawa dan tempat-tempat lain di Nusantara saat itu. Menurut A. Cabaton dal;am Orang Cam Islam di Indocina Perancis, terdapat sejumlah adat kebiasaan yang dianut oleh orang-orang Champa yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, seperti orang-orang Champa memanggil ibunya dengan sebutan "mak", memanggil kakaknya atau saudara yang lebih tua dengan sebutan "Kakak", memanggil adiknya atau orang yang lebih muda dengan sebutan "adhy, memanggil anak kecil laki-laki dengan sebutan "kachoa" atau "Kachong", yang rupanya terserap ke dalam kebiasaan masyarakat Muslim di pesisir Jawa dan tempat-tempat lain di Nusantara. 

Hal itu bisa kita bandingkan dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang hidup pada masa Majapahit. Mereka menyebut ibunya dengan sebutan "ina", "rena", "ibu", menyebut kakaknya dengan sebutan "raka", menyebut adiknya dengan sebutan "rayi", dan memanggil anak kecil laki-laki dengan sebutan "rare". Tradisi keagamaan yang dijalankan muslim Champa, seperti peringatan hari kematian ke-3, ke-7, ke-10, ke-40, ke-100, ke-1000 setelah kematian seseorang, kenduri, peringatan khaul, takhayul, tabu, (masa Majapahit dikenal Upacara 12 tahun setelah kematian seseorang Raja disebut "Srada") terbukti mempengaruhi muslim Nusantara yang sampai saat ini masih menjalankan tradisi keagamaan tersebut. (Agus Sunyoto "AWS").
Related Posts