Wisanggeni
Ketika
Pandawa hendak bertempur melawan Korawa dalam Perang Bharatayuda, para dewa di
kaendran Jonggring Saloka menuntut agar Wisanggeni dan Antasena harus tiada
agar Pandawa menang di dalam peperangan itu. Pakem wayang ini memang agak unik
dan sarat dengan piwulang yang amat luas pengertiannya.
Memang di dunia wayang, dua
ksatria Pandawa yang tak mengenal tata krama atau tidak mampu berudanegara ini
tak ada yang mampu melawan. Dengan kata lain tanpa tanding.
Antasena kerap disebut sebagai
orang bambung, sementara Wisanggeni disebut sebagai orang edan. Antasena
mempunyai senjata sungut, sementara Wisanggeni tak mempan segala senjata yang
ada di dunia ini. Kedua-duanya mempunyai senjata yang terletak di mulutnya.
Dua ksatria ini lambang keluguan,
lambang kesederhanaan, lambang kebersahajaan-prasaja. Ksatria ini juga simbol
generasi muda yang ingin agar negaranya makmur, sejahtera, dan orangtuanya jaya
di medan perang. Perang dalam hal ini adalah hidup di dunia ini.
Antasena lambang sebuah tekad
generasi muda yang siap membedah bumi ibaratnya. Tekad baja dengan bekal
semangat dan kekuatan yang luar biasa. Tetapi semuanya harus dikendalikan,
diracut. Demikian pula Wisanggeni, raja api yang berkobar di dalam diri
manusia, tak lain dan tak bukan adalah nafsu angkara murka untuk menguasai
jagad ini mesti diracut, disirnakan.
Perang di jagad raya ini
besarannya adalah perang melawan keangkaramurkaan, kedurjanaan. Namun di dalam
hal yang lebih mikro, perang melawan nafsu, melawan sifat-sifat buruk manusia
sendiri. Justru di sinilah perang sesungguhnya. Kalau perang melawan keburukan
dunia itu gampang dimanifestasikan dalam gerakan moral, gerakan budaya, dan
gerakan-gerakan yang lain. Tetapi perang melawan keburukan dan sifat diri yang
jelek sulit untuk dimanifestasikan kecuali dengan diam, bertapa, berpuasa,
bermatiraga.
Dua ksatria itu memang tidak
mengenal udanegara, bukannya mereka tidak tahu, tetapi memang mempunyai tekad
dan semangat yang ‘sundul langit’. Walau mereka lugu, tetapi dalam kehidupan
perlu keluwesan, perlu strategi, dan perlu penguasaan pancaindera. Pandawa
harus menang dengan kekuatan sendiri, tanpa dibantu oleh kekuatan yang luar
biasa yang datang dari kekuatan lain. Kemenangan yang dihasilkan dengan
kekuatan besar alias kekuasaan itu kemenangan yang wajar, kemenangan yang
dipaksakan, bukan lantaran usaha sendiri dengan semangat dan perjuangan
sendiri.
Sifat Antasena yang kadangkala
terasa kebablasen, demikian pula Wisanggeni yang selalu dalam lindungan
SangHyang Wenang harus dihentikan, diracut.
Orang Jawa Bilang ”Yen harsa
sumurub urubing tirta, kendalenana taline mega”.
‘Urubing tirta’ merupakan
manifestasi rasa, dituntut menahan dan mengendalikan nafsu. Manusia jadi
‘nglegena’ bukan tanpa keinginan, tetapi manusia harus pasrah-narima dan selalu
mengalah-mengejar jalan Allah.
Musuh atau sodara, teman atau tetangga, kriteriannya hanya satu, yang dibicarakan adalah kebenaran, dan kebatilan adalah musuhnya.
Kelahiran Wisanggeni dalam jagad pewayangan adalah diluar kehendak dewa. Sebab Wisanggeni adalah manusia edan dalam arti yang sebenarnya. Wong edan ngomong kebenaran bukan pada tempatnya. Wong edan tidak peduli suasana dan siapa yang dihadapi. Wong edan tidak mengenal takut. Dan keedanan Wisanggeni tidak lebih dari ketakutan para dewa akan tuah yang dibawa.
Dalam wiracarita Mahabharata, Wisanggeni adalah anak Arjuna dari Dewi Dresanala. Ia lahir karena Dresanala bersikukuh tidak menggugurkan kandungannya seperti tujuh bidadari yang juga hamil karena sebagai anugerah Dewa kepada Arjuna yang telah membebaskan kahyangan dari raksasa Niwatakawaca karena menginginkan Dewi Supraba.
Pada saat lahirnya, Wisanggeni membuat ontran-ontran di Kahyangan karena hendak dibunuh oleh kakeknya Batara Brama atas perintah Sang Hyang Giri Nata atau Batara Guru karena lahirnya Wisanggeni dianggap menyalahi kodrat. Tapi karena Wisanggeni adalah titisan Sang Hyang Wenang, dia luput dari bala tersebut.
Wisanggeni tumbuh dibesarkan oleh Batara Baruna (Dewa Penguasa Lauatan) dan Hyang Antaboga (Rajanya Ular yang tinggal di dasar bumi), yang menjadikan Wisanggeni punya kemampuan yang luar biasa. Di jagat pewayangan, dia bisa terbang seperti Gatotkaca dan masuk ke bumi seperti Antareja dan hidup di laut seperti Antasena.
Wisanggeni tinggal di Kahyangan Daksinapati bersama ibunya. Dan meninggal menjelang perang Bharatayuddha bersama Antasena atas permintaan Batara Kresna sebagai tumbal untuk kemenangan Pandawa atas perang tersebut.
Karakter Wisanggeni adalah mungkak kromo (tidak menggunakan bahasa kromo ketika bicara dengan siapapun) seperti halnya Bima. Dan dia punya kemampuan Weruh sadurungin winarah (mampu melihat hal yang belum terjadi).
Pemuda-Pemuda Sakti Tumbal Bharata Yudha
Kalo ditanya tentang sebenarnya tokoh sakti dalam Mahabharata itu golongan tua, agak tua alias umur-umur 40-an, muda atau malah bocah jawabnya tentu saja pemuda. Ya, dalam berbagai cerita tentu tokoh pemuda identik dengan pahlawan, mempunyai kepandaian tertinggi, tengoklah Yoko Tayhiap atau Thio Bu Kie, atau Liok Siau Hong, eh kok malah jadi cerita silat.
Dalam cerita wayang, setelah berakhirnya Bharata Yudha tidak ada satupun pemuda putra Pandawa yang hidup alias mati semua. Memang amat sangat disayangkan ketika Arjuna diberi kesempatan untuk meminta keselamatan saat perang Bharata Yudha oleh Dewa, dia hanya bilang “Semoga Pandawa diberi keselamatan”. Nah, Kresna yang ada di sampingnya kaget, “bagaimana dengan anak-anak Pandawa?”. Itulah ironisnya dunia wayang, doa kagak bisa diulang lagi, kagak bisa di-rewind, Dewa juga kagak bisa memilihkan yang paling baik bagi manusianya. Ya sudah, semua anak Pandawa mati saat perang Bharata Yudha, melahirkan cerita-cerita kepahlawanan segenap tokoh seperti Abimanyu dan Ghatotkaca, atau tipu daya licik penjagalan segenap putra dan sahabat pandawa di akhir perang.
Kembali ke kalimat pertama cerita ini, siapakah pemuda yang dimaksud. Tentunya kita ingat cerita Wisanggeni, Antareja dan Antasena. Tiga pemuda itu putra Arjuna (Wisanggeni) dan Bima (Antareja dan Antasena). Dikatakan paling sakti karena tidak ada satupun tokoh dunia pewayangan yang dapat mengalahkan mereka, mulai dari dewa sampe manusia. Tetapi mereka mati muda, menjadi tumbal perang, kemenangan bagi bapak-ibu mereka, dan iklhas menyatakan bahwa cerita Mahabharata adalah cerita-nya Pandawa, kemengangannya ya kemenganan Pandawa. Wisanggeni dan Antasena, dua orang ini mengikuti jejak Sang Hyang Wenang, ikut mukso, hilang wadag/tubuh pindah ke dimensi lain, sama seperti Nagaraja setelah memberikan ajian Gineng kepada Anglingdharma.
Wisanggeni adalah bocah yang lahirnya pre-mature, cucu dewa Brahma, putra dari Dresanala dan ARJUNA (Anak Rebutan JUtaan noNA). Dresanala, sesuai namanya DRESANALA (Dara REsah SAat arjuNA LAri). Ya, sejak Arjuna lari dari kayangan setelah membantu Dewata membunuh satu raksasa yang aku lupa namanya. Dresanala resah karena dia sudah berbadan dua, kemarahan Bapaknya membuat anaknya lahir, terus dimasukkan kawah Candradimuka, jadilah ksatria dan diberi nama Wisanggeni.
Antasena dan Antareja juga begitu banyak diceritakan dalam dunia wayang, walaupun punya kesaktian nggegirisi. Ibu mereka adalah Urang Ayu dan Nagagini, dua putri tokoh dewa penghuni lautan dan tanah/bumi. Makanya Antasena bisa menyelam dalam laut, Antareja bisa amblas dalam bumi. Tapi ga itu aja, mereka ahli memainkan bisa/racun. Bahkan konon katanya hanya dengan meludahi jejak kaki lawannya, Antareja bisa membunuh sang lawan.
Intinya, sesakti apapun mereka, tetep saja mati, tidak dibolehkan ikut perang Bharata Yudha, karena mengganggu konsep keadilan perang, ga akan ada yang mampu mengalahkan mereka. Sama aja menantang Bu Kek Siansu maen silat, atau nantang Tokko Kyu-Pai maen ilmu pedang. Ketika Wisanggeni dan Antasena bertanya pada Sang Hyang Wenang, dengan cara apa mereka bisa membela Pandawa. Sang hyang Wenang bilang dengan cara, mati. Ya mereka rela mati, ikut mukso dengan Sang Hyang Wenang. Sedangkan Antareja disuruh menjilat kaki sendiri oleh Kresna, dan matilah mereka. Sekarang, apakah cerita ini cuman berhenti disini. Tidak, dalam setiap cerita wayang, sejarah selalu membuktikan bahwa pemuda yang rela mati untuk kemenangan, sesuatu yang berharga, adalah pahlawan-pahlawan sejati. Mereka memulai gerakan pembaharuan, termasuk ketiga tokoh wayang tersebut. Satu kesamaan mereka adalah mereka tidak bisa berbahasa halus dengan siapapun, golongan dewa atau manusia, bapak-ibu-Pakdhe. Dari sini bisa kita lihat ciri khas pemuda yang sakti dan tanpa pandang bulu, semua dianggap sama. Harus diakui cerita wayang erat kaitannya dengan tata-adat dan culture, yang muda berbahasa halus dengan yang tua, tapi 3 tokoh tadi mengajarkan kesamaan, tanpa pandang bulu.
Garis besar
Wisanggeni adalah tokoh dalam dunia pewayangan yang memiliki
daya pikat dan menjadi idola banyak penggemar dunia pewayangan , meski tokoh
wisanggeni ini tidak ada dalam kisah mainstream dunia pewayangan namun bukan
berarti tidak memiliki banyak penggemar. Bahkan kecintaan akan tokoh wisanggeni
ini tidak jarang di implementasikan sebagai nama anak sang penggemar , mungkin
menjadi harapan sang orang tua bahwa anaknya kelak akan mewarisi nilai-nilai
luhur yang dibawa dari sang tokoh. .
Tokoh wisanggeni ini di yakini sebagai tokoh
baru , murni hasil karya leluhur masyarakat jawa sebagaimana tokoh-tokoh
pewayangan baru diluar pakem kisah pewayangan lainnya seperti punokawan dan
semar bodronoyo.
Wisanggeni , dipandang sebagai sosok yang tepat
untuk mewakili sebuah pribadi yang diharapkan banyak orang yaitu sebuah pribadi
yang mampu mendobrak kesewenang-wenangan penguasa dimana didalam cerita
dikisahkan bahwa wisanggeni adalah korban kesewenang-wenangan sang yhang guru
sebagai ketua para dewa dan penguasa khayangan. Wisanggeni juga dipandang
sebagai sosok yang "blokosuto" yaitu bicara apa adanya tanpa basa
basi dan tedeng aling-aling namun memiliki kesaktian tanpa tanding karena
merupakan titisan dari Shang Yhang Wenang. Selain itu , wisanggeni dipuji
karena menjadi pribadi yang rela mengorbankan jiwa raganya demi kemenangan
pihak yang baik/haq yaitu kemenangan pendawa terhadap kurawa di perang
baratayuda.
Hampir setiap sisi kisah perjalanan hidup
wisanggeni memberikan nilai luhur yang luar biasa dan mampu menghipnotis dan
memiliki daya pengaruh bagi para penyimak kisahnya , tidak saja kisah awal
kelahirannya bahkan kisah sebelum kelahirannya-pun memiliki makna dan
nilai-nilai luhur yang bernilai untuk dipahami. Nilai-nilai luhur yang unik
akan semakin kental terlihat ketika bagaimana wisanggeni tumbuh besar , menikah
, mengobrak abrik khayangan sebagai protes atas kesewenang-wenangan ,
pertempuran dengan betara kala hingga sampai ke kematiannya.
Kisah wisanggeni diawali sebelum masa kelahiran
, dimana terjadi ontran-ontran kehidupan rumah tangga orang tua wisanggeni yaitu
arjuna dan dewi desranala. Ontran-ontran dikeluarga orangtua wisanggeni ini
membuat sijabang bayi wisnaggeni dalam kandungan harus merasakan penderitaan
karena tidak pernah lagi merasakan kasih sayang dari ayahnya yaitu arjuna ,
satria pandawa yang ke 3.
Penderitaan wisanggeni terus berlanjut pada masa
pra-kelahiran wisanggeni , dimana wisanggeni yang berstatus masih sebagai
seorang calon anak atau jabang bayi yang masih dalam kandungan harus mengalami
penderitaan yang sangat dahsyat. Dimana didalam kandungan , dia harus menerima
kemarahan sang dewa brama atau dewa api yang terus menerus memukulinya meski
baru berupa janin dalam perut agar meninggal dunia. Namun ternyata Tuhan
berkehendak lain , sang janin malah keluar dari kandung dan tetap hidup meski
ditelan oleh api kemarahan sang dewa brama.
Ketika janin wisanggeni baru saja lahir, dia
kembali mendapatkan siksaan yang sangat luar biasa dan Kemarahan sang
kakek sudah diluar batas bahkan tega mengigit leher wisanggeni dengan harapan
agar mati oleh bisa api beracun dan sekali lagi dia tetap kuat terkena racun
api sang dewa api. Dan akhirnya orok si wisanggeni dilempar ke dalam kawah
gunung candradimuka dengan harapan agar musnah. Namun lagi-lagi Shang Yhang
Jagad Dewanata berkehendak lain , api kawah candradimuka bukannya menelan
langsung dan menghancurleburkan tubuh sang orok malah membuatnya dia semakin
kuat.
Akhirnya Sang bayi dilempar ke laut dari
khayangan agar tubuhnya hancur lebur dan bangkainya dimakan ikan buas di
lautan. Namun kehendak langit berbeda , alih-alih sang jabang bayi malah
menimbulkan kegemparan baru dilautan dan menjadi wasilah diangkat anaknya sang
bayi wisanggeni oleh 2 penguasa lautan sekaligus yaitu Batara Baruna (Dewa
Penguasa Lautan) dan Hyang Antaboga (Rajanya Ular yang tinggal di dasar bumi).
( Versi lain , orok wisanggeni diselamatkan oleh batara narada dan kemudian di
titipkan ke penguasa lautan batara baruna dan hyang antaboga ).
Tatkala dilempar ke dalam kawah candra dimuka ,
pada versi lain dikisahkan sang orok perlahan berubah menjadi pemuda yang gagah
perkasa nan sakti tanpa tanding dan menghajar semua yang menghalanginya
termasuk Hyang Guru dengan didampingi oleh semar.
Pada masa dewasanyapun wisanggeni tidak luput
dari penderitaan , mulai dari dihina dan diremehkan hingga tidak diterima
sebagai anak oleh ayahnya sendiri sang arjuna. Namun selama menjalani kisah
hidupnya , wisanggeni tetap tegar menghadapi bahkan wisanggeni mau menerima
untuk berkorban dengan menyerahkan jiwanya demi kemenangan pihak pendawa pada perang
baratayudha meski disana ada arjuna sang ayah yang tidak mengakui dirinya
sebagai seorang anak.
Rangkaian kisah tragis dan penderitaan
wisanggeni ini sangat membekas dalam hati pengidolanya , sehingga wisanggeni
menjadi sebuah sosok yang tepat untuk mewakili banyak hal. Mulai dari sosok
yang sabar menghadapi cobaan , sosok yang berani melawan penguasa yang
sewenang-wenang , sosok yang sakti mandraguna namun bersahaja , sosok pemaaf
dan sederhana , sosok teraniaya namun masih mau menerima dan berkorban bagi
kebaikan pihak yang pernah menyakitinya.
Makna Nama Wisang Geni
Wisanggeni memiliki arti "Bisanya API"
atau "Racunnya Api" , yang berasal dari kata WISA atau wiso yang
artinya adalah "BISA" atau "Upas" yaitu racunnya ular dan
GENI adalah api. Wisang Geni secara filosofi nama bermakna seseorang yang
memegang teguh kebenaran "tanpo tedeng aling-aling" , Tidak peduli
siapapun pasti dibakarnya , dilibas dan dihancurkan. Siapapun mereka , baik
saudara , teman atau tetangga apalagi musuh jika salah maka dia akan lawan!
Hanya satu prinsip yang di pegang teguh yaitu Kebenaran, dan kebatilan adalah
musuhnya.
Kelahiran Wisang Geni
Dalam kisahnya , kelahiran Wisanggeni dianggap
sebagai sesuatu yang diluar kehendak dewa , diluar kodrat. Lahir dari rahim
Dewi Dresanala yang bersikeras tidak mau mengugurkan kandungannya buah
cinta dengan Raden Arjuna sesuai perintah Ayahnya Batara Brama atas tekanan
dari Sang Hyang Giri Nata atau Batara Guru. Meski hendak dihancurkan oleh
kakeknya , Wisang Geni tetap selamat dari bala karena Wisanggeni
hakekatnya adalah titisan Sang Hyang Wenang.
Tumbuh Kembang Wisang Geni
Dikisahkan meski tinggal Kahyangan Daksinapati
bersama ibunya namun Wisanggeni dibesarkan oleh Batara Baruna (Dewa Penguasa
Lautan) dan Hyang Antaboga (Rajanya Ular yang tinggal di dasar bumi). Berkat
tempaan dari Batara Baruna dan Hyang Antaboga , Wisanggeni menjadi sakti
mandraguna "tanpo tanding" yang luar biasa. Wisang menguasai ilmu
terbangnya Gatotkaca , Ambles Buminya Antareja dan hidup didalam Air atau laut
seperti Antasena.
Karakter dan Bentuk Tubuh Wisang Geni
Karakter Wisanggeni yang sangat terkenal adalah
mungkak kromo (tidak menggunakan bahasa kromo ketika bicara dengan siapapun)
seperti halnya Bima termasuk pada Sang Bethara Guru. Meski terlihat
angkuh dan seenaknya sendiri hakekatnya Wisang Geni adalah tokoh yang baik dan
suka menolong serta hanya berpihak pada kebenaran. Dan dikenal sebagai pribadi
yang cerdik dan banyak akal , berbanding terbalik dengan sepupunya Antaseno
yang sangat lugu
Wisang Geni digambarkan sebagai seorang pemuda
yang gagah dan tampan rupawan , setelah sebelumnya adalah seorang bayi yang
diceburkan ke dalam kawah candradimuka agar mati namun malah berubah menjadi
pemuda gagah. Kisah ini sama dengan kisah gatutkaca. Namun ada yang
mengkisahkan Wisanggeni besar di pertapaan Kendalisada, tempat Resi Mayangkara.
Kesaktian Wisang Geni
Wisang Geni seringkali dicap sebagai “wong edan”
karena tidak saja tak mempan senjata apapun di dunia ini namun juga bisa
terbang , ambles bumi , weruh sakdurunge winarah , memiliki gelap sayuto dan
bisa hidup didalam air dan lautan. Selain itu juga memiliki tekad baja dan
semangat kekuatan luar biasa sehingga bisa dikatakan tidak ada satupun makhluk
yang mampu menandingi kesaktiannya termasuk para dewa. Hal ini dianggap bahaya
bagi berjalannya suratan takdir sehingga dengan tipu muslihat Sri Kresna ,
wisanggeni dan antasena ditumbalkan demi kemenangan Pandawa meski padahal tanpa
ditumbalkan sekalipun Pandawa dengan bantuan mereka pasti akan menang.
Pernikahan Wisang Geni
Persaingan mencari "cupumanik gambar
jagad" sebagai sayembara untuk menikahi Dewi Mustikawati, putri
Begawan Mustikadarma dari Pertapan Sonyapura membuat wisanggeni harus bersaing
dengan Bomanarakasura anak Sri Kresna. Namun akhirnya sayembara dimenangkan
oleh Wisanggeni dan berhak menikah dengan Dewi Mustikawati.
Kematian Wisang Geni
Wisanggeni meninggal menjelang perang
Bharatayuddha bersama Antasena atas permintaan Batara Kresna sebagai tumbal
untuk kemenangan Pandawa atas perang tersebut. Yang sesungguhnya adalah tipu
muslihat Batara Kresna karena kesaktiannya Wisang Geni dianggap akan merusak
kodrat perang Baratayudha.
-------------------------------------------------------------------
Biography Wisang Geni
Nama |
: |
Wisanggeni |
Alias |
: |
Bambang Wisanggeni |
Tempat Kelahiran |
: |
Khayangan Daksinapati / di pertapaan Kendalisada, tempat Resi Mayangkara |
Nama IBU |
: |
Dewi Dresanala |
Nama BAPAK |
: |
Raden Arjuno ( Janoko , Sang Mintaraga , Dananjaya , Palguna , Permadi , Ciptahening , Wijanarka ) |
Nama KAKEK |
: |
Dewa Bromo ( Shang Yhang Brama - Dewa Api - Putra Batara Guru ) |
Nama ISTRI |
: |
Dewi Mustikawati, putri Begawan Mustikadarma dari Pertapan Sonyapura |
Pengasuh |
: |
Batara Baruna (Dewa Penguasa Lautan) |
: |
Hyang Antaboga (Rajanya Ular yang tinggal di dasar bumi) |
|
Kesaktian |
: |
Gelap Sayuto , Terbang , Ambles Bumi , Hidup di dalam Air maupun Laut , Weruh Sak Durunge Winarah , Kebal semua Senjata , Ludahnya berbisa dan mampu mengeluarkan api. |
Kematian |
: |
Muspro di depan Sang Yhang Wenang , sebagai tumbal perang baratayudha atas tipu muslihat Sri Kresna dan Para Dewa. |
Kematian
Kematian Wisanggeni tidaklah kalah tragis dengan kisah kelahirannya , jika kelahirannya penuh dengan siksa kebengisan kedzoliman seorang penguasa dan perjuangan seorang ibu mempertahankan buah hatinya. Sedangkan kematiannya adalah buah dari tipu daya Sri Kresna dan para dewa. Namun semua itu dia jalani dengan sabar dan ikhlas. Bersama sepupunya Antasena , Wisanggeni ikhlas menjadikan dirinya sendiri sebagai tumbal bagi kemenangan pihak Pendawa meski bisa dipastikan dengan tangan Wisanggeni dan Antasena sendiri kemenangan akan diraih oleh pihak Pendawa.
Menjelang meletusnya perang Baratayuda, atas titah Sri Krisna
Wisanggeni dan Antasena diminta kesediannya dijadikan tumbal bagi kemenangan
pihak pendawa. Hal ini dikarenakan para dewa di kaendran Jonggring Saloka
menuntut agar Wisanggeni dan Antasena harus tiada agar Pandawa menang di dalam
peperangan itu.
Tanpa berat hati Wisanggeni dan Antasenapun rela
berkorban jiwa raganya untuk ditumbalkan demi kemenangan pihak Pandawa pada
perang Bharatayuda. Sangat miris memang , seorang Wisanggeni yang kelahirannya
tidak diinginkan oleh para dewata dan bahkan bayinya di injak , ditendang ,
dipukul dan dicemplungkan ke dalam kawah candradimuka agar mati belum lagi
ditambah dibakar oleh pusaka-pusaka sakti milik para dewa agar semakin bergejolak
kawah candradimuka untuk memastikan kematiannya. Harus menyerahkan nyawanya
memenuhi permintaan para dewa di kaendran Jonggring Saloka yang dititahkan pada
Kresna, sebagai prasyarat kemenangan Pandhawa.
Tidak bisa dibayangkan betapa sedihnya pihak Kahyangan
Daksinapati tempat Dewi Dresanala mengasuh dan membuai Wisanggeni menangis..
menangis.. meratapi takdir yang pada akhirnya tetap terjadi… Entah itu dendam ,
entah itu keculasan , entah itu memang jalan takdir... sang buah hati harus
direlakan mendahului diri sang ibunda Dewi Dresnala.
Sungguh sebuah pengorbanan yang tidak mudah ,
mengingat dengan kesaktiannya Wisanggeni dan Antasena mampu menghancurkan semua
dewa yang dianggap sebagai penentu kehidupan manusia di dunia dan bahkan
kesaktian mereka dengan mudah mengembalikan hak para pendawa atas astina
sehingga tidak perlu adanya perang Bharatayudha yang diramalkan akan
menghabiskan 1 generasi sebuah keluarga. Terlebih kurawa dan pandawa hakekatnya
bersaudara.
Jika dilihat memang keputusan para dewa itu
terlihat tidak adil , karena Wisanggeni sejak lahir merupakan simbol perlawanan
terhadap kebhatilan. berani menentang keputusan bhatara guru yang terkadang
dipengaruhi oleh dewi durga sehingga sering merugikan pandawa.
Setelah wisanggeni lahir maka wisanggenilah yang
sering menggebuk para dewa jika mereka melakukan kesalahan dan ketak adilan
pada para pandawa. wisanggeni memiliki kewaskitaan yang sama dengan sri kresna
bahkan dalam banyak hal permasalahan anak anak pandawa dapat diselesaikan oleh
wisanggeni bukan sri kresna.
Wisanggeni adalah penggabungan gabungan sipat
sipat yang luar biasa, cerdas, mengetahui masa depan, sakti seperti dewa, tapi
ngoko dan tak berbahasa halus walo dialeganya halus (disini bedanya wisanggeni
dengan antasena, sama sama ngoko tapi dialeg antasena kasar, sementara dialeh
wisanggeni halus), dan juga wisanggeni itu pandai berdiplomatik dan tak cepet
naik darah, bisa mengikuti strategi yg dibuatnya sehingga sering dijadikan
pemimpin oleh anak anak pandawa.
Wisanggeni seakan-akan cerminan "dewa yang
diharap-harapkan" karena tidak silau dengan dunia , tidak rakus kekuasaan
dan selalu menjunjung tinggi kebenaran. Sosok wisanggeni adalah bentuk
perlawanan atas eksistensi para dewa yang suka seenaknya sendiri menyalahgunakan
kekuasaan mereka kepada manusia di dunia.
Wisanggeni dan Pakem Pewayangan
Pakem wayang akan sosok wisanggeni ini memang
agak unik dan sarat dengan piwulang yang amat luas pengertiannya sehingga butuh
kedalaman keheningan hati untuk memahaminya. Memang di dunia pewayangan, dua
ksatria Pandawa yaitu Wisanggeni dan Antasena dikenal sebagai sosok yang tak
mengenal tata krama atau tidak mampu berudanegara namun memiliki kesaktian
tanpa batas dan tanpa tandingan meski seorang raja dewa sekalipun sekelas Sang
Hyang Guru.
Antasena kerap disebut sebagai orang bambung,
sementara Wisanggeni disebut sebagai orang edan. Antasena mempunyai senjata
sungut, sementara Wisanggeni tak mempan segala senjata yang ada di dunia ini.
Kedua-duanya mempunyai senjata yang terletak di mulutnya.
Dua ksatria ini lambang keluguan, lambang
kesederhanaan, lambang kebersahajaan-prasaja. Ksatria ini juga simbol generasi
muda yang ingin agar negaranya makmur, sejahtera, dan orangtuanya jaya di medan
perang. Perang dalam hal ini adalah hidup di dunia ini.
Antasena lambang sebuah tekad generasi muda yang
siap membedah bumi ibaratnya. Tekad baja dengan bekal semangat dan kekuatan
yang luar biasa. Tetapi semuanya harus dikendalikan, diracut. Demikian pula
Wisanggeni, raja api yang berkobar di dalam diri manusia, tak lain dan tak
bukan adalah nafsu angkara murka untuk menguasai jagad ini mesti diracut,
disirnakan.
Perang di jagad raya ini besarannya adalah
perang melawan keangkaramurkaan, kedurjanaan. Namun di dalam hal yang lebih
mikro, perang melawan nafsu, melawan sifat-sifat buruk manusia sendiri. Justru
di sinilah perang sesungguhnya. Kalau perang melawan keburukan dunia itu
gampang dimanifestasikan dalam gerakan moral, gerakan budaya, dan
gerakan-gerakan yang lain. Tetapi perang melawan keburukan dan sifat diri yang
jelek sulit untuk dimanifestasikan kecuali dengan diam, bertapa, berpuasa,
bermatiraga.
Dua ksatria itu memang tidak mengenal udanegara,
bukannya mereka tidak tahu, tetapi memang mempunyai tekad dan semangat yang ‘sundul
langit’. Walau mereka lugu, tetapi dalam kehidupan perlu keluwesan, perlu
strategi, dan perlu penguasaan pancaindera. Pandawa harus menang dengan
kekuatan sendiri, tanpa dibantu oleh kekuatan yang luar biasa yang datang dari
kekuatan lain. Kemenangan yang dihasilkan dengan kekuatan besar alias kekuasaan
itu kemenangan yang wajar, kemenangan yang dipaksakan, bukan lantaran usaha
sendiri dengan semangat dan perjuangan sendiri.
Sifat Antasena yang kadangkala terasa
kebablasen, demikian pula Wisanggeni yang selalu dalam lindungan SangHyang
Wenang harus dihentikan, diracut.
Orang Jawa Bilang ”Yen harsa sumurub urubing
tirta, kendalenana taline mega”.
‘Urubing tirta’ merupakan manifestasi rasa,
dituntut menahan dan mengendalikan nafsu. Manusia jadi ‘nglegena’ bukan tanpa
keinginan, tetapi manusia harus pasrah-narima dan selalu mengalah-mengejar
jalan Allah.(Sugeng WA)
Kematian Wisanggeni dan Antasena
Setelah menerima titah dari Sri Kresna atas
perintah para dewa maka naiklah Wisanggeni dan Antasena ke Kahyangan
Alang-alang Kumitir menemui Sanghyang Wenang. Dihadapan Sang Hyang Wenang ,
keduanya berbahasa halus sehalus-halusnya yang tidak pernah seumur hidup mereka
ucapkan kepada orang lain. Senyum hangat Sang Hyang Wenang menembus relung jiwa
mereka , meluruhkan unsur-unsur keduniawian yang mungkin masih tersisa.
Setelah wejangan Sang Hyang Wenang mengantarkan
kepada pemahaman "Sangkan Paraning Dumadi" mereka berdua maka lengkap
sudah persiapan mereka meninggalkan dunia ini. Mereka pun mengheningkan cipta.
Beberapa waktu kemudian tubuh mereka semakin mengecil dan mengecil , tubuh
mereka terus mengecil dan mengecil hingga ke titik yang paling kecil keduanya
pun mencapai moksa, musnah bersama jasad mereka.