KISAH KERIS JENDRAL SUDIRMAN
Jumat, 03 Juni 2022
Dibesarkan
di lingkungan Muhammadiyah di Cilacap dan pernah menjadi pengurus
Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah, namun Sudirman yang biasa
dipanggil “Kiaine” (kyai-ne, sang kiai) karena alimnya ini, juga
penganut paham kejawen. Dalam kesehariannya, setelah diangkat sebagai
Panglima Besar (1947), Sudirman yang kelahiran Purbalingga Banyumas itu
bahkan selalu mengenakan atribut keris terselip di pinggang bagian
depannya saat memimpin pasukan.
Kisah
keris Sudirman yang menarik, diungkapkan dalam buku “Perjalanan
Bersahaja Jenderal Sudirman” oleh Soekanto dan juga dalam laporan khusus
yang ditulis Tempo pada 12 November 2012 silam. Kisah keris sang
Jendral ini terjadi pada tahun 1949.
Suatu
hari awal Januari 1949, desing pesawat membangunkan penduduk-penduduk
desa Bajulan, Nganjuk, Jawa Tengah. Warga yang tengah berada di sawah,
di halaman dan di jalanan desa pada panik, masuk ke rumah atau
bersembunyi di sebalik pepohonan. Warga Nganjuk tahu, itu pesawat
Belanda yang tengah mencari para gerilyawan sembari memuntahkan bom,
mortir dan peluru.
Tak
terkecuali Jirah, seorang perempuan desa berusia 16 tahun warga desa
Bajulan. Ia gemetar di dapur, membayangkan gubuknya dihujani peluru. Di
rumahnya ada sembilan laki-laki tamu ayah angkatnya, Pak Kedah, yang ia
layani makan dan minum di rumah tersebut. Meski mengaku tak paham siapa
orang-orang lelaki tersebut, namun Jirah menduga mereka adalah
orang-orang yang dicari tentara Belanda.
Sewaktu
pesawat terdengar mendekat, Jirah melihat seorang yang biasa dipanggil
“Kiaine” memakai beskap (baju tradisional Jawa) yang duduk di depan
pintu dikelilingi delapan temannya, mengeluarkan keris dari pinggangnya.
“
Saya hanya mengintip dari dapur dan menguping apa yang terjadi,” kata
Jirah, dalam wawancara dengan Tempo September 2012 itu. Kiane itu
menaruh keris di depannya. Tangannya merapat, mulutnya komat-kamit
merapal doa. Ajaib, tutur Jirah, keris itu berdiri dengan ujung
lancipnya menghadap ke langit-langit rumah. Suara pesawat kian mendekat,
dan doa lelaki-lelaki itu makin terdengar nyaring. Keris itu perlahan
miring, lalu jatuh ketika bunyi pesawat menjauh. Kiaine menyarungkan
keris itu lagi dan para pendoa pun mundur dari ruang tamu. Kepada Jirah,
seorang pengawal Kiaine bercerita, bahwa keris dan doa itu telah
menyamarkan rumah dan kampung tersebut dari penglihatan Belanda.
Dari
curi-curi obrolan para tamu dengan ayahnya itu, Jirah samar-samar tahu,
orang yang memakai beskap bertubuh tinggi, kurus, pendiam dan dengan
nafas tercekat yang dipanggil Kiaine itu adalah Jenderal Sudirman. “Saya
mendapat kepastian bahwa itu Pak Dirman justru setelah beliau
meninggalkan desa kami,” tutur Jirah.
Buronan Kelas Wahid
Waktu
Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat/ Angkatan Perang Republik
Indonesia (yang dipilih melalui pemungutan suara pada 12 November 1945
di antaranya mengalahkan Oerip Soemohardjo) sedang bergerilya melawan
Belanda, rombongan yang menyertainya berjumlah 77 orang. Mereka datang
ke Bajulan pada Jumat Kliwon pada Januari 1949. Di rumah warga Nganjuk
yang bernama Pak Kedah itu, Sudirman ditemani delapan orang di antaranya
Dr Moestopo, Tjokropranolo dan Soepardjo Roestam. Sebanyak 68 orang
gerilyawan lainnya, menginap di rumah tetangga-tetangga Pak Kedah.
Selama
lima hari berada di desa Bajulan, tutur Jirah, tidak sekalipun Belanda
menjatuhkan bom atau menembaki penduduk dengan mortir. “Itu berkat keris
dan doa-doa Kiaine...,” tutur Jirah. Sudirman seolah-olah tahu, tiap
kali Belanda akan datang mencarinya. Belanda, yang menginvasi Indonesia
untuk kedua kalinya tiga tahun setelah Indonesia menyatakan merdeka (17
Agustus 1945), selalu gagal mencari buron nomor Wahid Kiaine Sudirman
itu.
Sudirman,
yang lahir pada Senin Pon 18 Maulud 1846 Jawa atau 24 Januari 1916 di
dukuh Rembang, desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten
Purbalingga Banyumas Jawa Tengah itu, dibesarkan di Cilacap oleh ayah
angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo asisten Wedana di Rembang, Purbalingga.
Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan
Tjokrosoenarjo danj Toeridowati di Cilacap.
Memperoleh
pendidikan formal Belanda untuk pribumi, Hollandsch Inlandsche School
(HIS, setingkat Sekolah Dasar) pada usia 7 tahun pada 1923. Selain
dikenal rajin di sekolah serta pandai, Sudirman juga menjadi bintang
lapangan sepak bola serta dijuluki Kiaine karena alimnya. Namun,
kecelakaan kecil di lapangan sepak bola, sempat terkilir kakinya,
menurut tutur anaknya Mohammad Teguh Bambang Tjahjadi (63, tahun 2012
itu), sehingga kakinya cacat. Karena kaki cacat itu, sebenarnya ia
pesimis menjadi tentara. Namun ternyata dalam pemilihan pemimpin
tertinggi Tentara Keamanan Rakyat Angkatan Perang Republik Indonesia,
ternyata ia malah mampu terpilih sebagai Panglima. Mengalahkan calon
kuat lainnya, di antaranya Oerip Soemohardjo.
Sudirman
sempat mendapatkan pendidikan militer pertamanya dari Jepang. Ia
direkrut pemerintah negeri matahari terbit itu pada usia 25 tahun.
Setahun menempa pendidikan kemiliteran, Soedirman pun mendapatkan tugas
besar pertamanya.
Pada
3 Oktober 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 44
Tahun 2603 (1944) tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela
Tanah Jawa. Penguasa Karesidenan Banyumas mengusulkan Soedirman ikut
bergabung. Nugroho Notosusanto dalam buku Tentara PETA pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, mengatakan hampir semua daidanchodan chudancho dibujuk secara pribadi oleh Beppan.
Daidancho
kebanyakan direkrut dari tokoh masyarakat, seperti guru, tokoh agama
Islam, dan pegawai pemerintah. Sudirman kemudian masuk Peta angkatan
kedua sebagai calon daidancho.
Meski
dibesarkan di kalangan Muhammadiyah, namun Sudirman dikenal suka
kejawen dan ikut dalam perguruan aliran kejawen Sumarah di Banyumas. Dan
ketika suatu ketika ia mengajar, jadi guru di Banyumas, Sudirman
dikenal kalau mengajar sering memakai kisah pewayangan pada
murid-muridnya... *
Related Posts